Education & Information

Work-Life Balance dan Tantangan Generasi Z di Dunia Kerja Modern

WhatsApp Image 2025-11-10 at 15.40.05_bb22326d

Work-Life Balance dan Tantangan Generasi Z di Dunia Kerja Modern

Penulis : Radhiya Diva Dinara

 

Generasi Z merupakan kelompok generasi muda yang lahir di pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2010-an, kelompok generasi Z saat ini merupakan kelompok usia yang memenuhi lingkungan dunia kerja. di tengah perubahan besar dalam dinamika dunia kerja dan ramainya pro dan kontra terhadap karakteristik generasi ini, muncul beragam istilah dan konsep baru yang memperkaya pemahaman kita tentang kehidupan kerja dan ekspektasi profesional masa kini. Salah satu istilah yang banyak dibicarakan adalah work-life balance atau keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi.

Makna Work-Life Balance Bagi Generasi Z

Berbeda dengan generasi sebelumnya yang cenderung memaknai pekerjaan sebagai kewajiban atau sumber penghidupan utama, Generasi Z menunjukkan kecenderungan untuk mencari makna dan kepuasan pribadi dalam pekerjaan. Bagi mereka, pekerjaan bukan hanya tentang memenuhi tuntutan ekonomi atau sosial, tetapi juga tentang memberikan ruang untuk menjalani kehidupan pribadi seperti mengejar hobi, seni, pendidikan, serta membina hubungan keluarga dan sosial. Kecenderungan ini juga biasanya muncul karena mereka tidak mau kehilangan sisi kemanusiaan yang mulai menjadi kaku karena banyaknya tuntutan dari berbagai aspek tersebut.

Work-life balance didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyeimbangkan antara waktu dan energi yang dihabiskan untuk pekerjaan dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Konsep ini semakin populer karena generasi muda saat ini menginginkan fleksibilitas dalam jam kerja dan lebih menekankan pada kualitas hidup secara menyeluruh, bukan hanya kesuksesan profesional.

Pendekatan Psikologis dan Kebutuhan Karyawan

Csikszentmihalyi (1997), menjelaskan bahwa keseimbangan hidup dapat ditingkatkan dengan menantang diri sendiri melalui aktivitas yang memerlukan komitmen tinggi dan pemanfaatan maksimal potensi diri, baik dalam pekerjaan, waktu luang, maupun hubungan sosial.

Sementara itu, Sirgy et al. (2001) dalam sebuah jurnal mengemukakan bahwa kualitas kehidupan kerja dapat dinilai melalui tujuh dimensi kebutuhan, yaitu:

  1. Kebutuhan akan keselamatan dan kesehatan
  2. Kebutuhan ekonomi
  3. Kebutuhan sosial
  4. Kebutuhan pengakuan
  5. Kebutuhan aktualisasi diri
  6. Kebutuhan pengetahuan
  7. Kebutuhan estetika

Dimensi-dimensi ini menunjukkan bahwa manusia sebagai pekerja tidak hanya memerlukan kompensasi finansial, tetapi juga ruang untuk bertumbuh dan merasa dihargai.

Burnout: Ancaman Nyata bagi Keseimbangan Hidup

Tingginya tekanan di tempat kerja dapat menyebabkan burnout, yaitu kondisi kelelahan fisik dan emosional akibat stres yang berkepanjangan. Fenomena ini sering dialami oleh profesional, terutama mereka yang bekerja di sektor yang menuntut intensitas tinggi seperti kesehatan. Dampaknya sangat luas, mulai dari penurunan motivasi, konflik keluarga, bahkan penyalahgunaan zat yang berbahaya untuk Kesehatan seperti alkohol.

Shanafelt et al. (2012), mengemukakan bahwa burnout tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada keluarga dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Ketidakseimbangan ini dapat memicu efek domino yang merugikan baik secara pribadi maupun profesional.

Faktor Penentu Keseimbangan Kerja dan Hidup

Riset yang dilakukan oleh Fontinha et al. (2019) dan Haar et al. (2019) menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti panjangnya jam kerja, tekanan pekerjaan, serta tuntutan keluarga dapat mengganggu keseimbangan kerja dan hidup. Namun, sebaliknya, otonomi kerja (pekerjaan yang bersifat mandiri) dan dukungan dari atasan terbukti memainkan peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan karyawan.

Implikasi Bagi Organisasi

Sumber daya manusia adalah aset utama bagi pertumbuhan organisasi. Karyawan yang merasa tidak diperhatikan kesejahteraannya cenderung memiliki tingkat turnover yang tinggi. Hal ini akan membebani organisasi dengan biaya tambahan untuk rekrutmen dan pelatihan staf baru, serta menghambat produktivitas dan ekspansi jangka panjang.

Sebaliknya, organisasi yang mampu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung work-life balance akan mendapatkan manfaat dalam bentuk produktivitas, efisiensi, dan pengembangan keterampilan yang lebih optimal. Tiga dimensi ini yakni produktifitas, efisiensi, dan pengembangan  keterampilan merupakan fondasi utama dalam membangun keseimbangan kerja-hidup yang berkelanjutan.

Kesimpulan

Generasi Z membawa perspektif baru terhadap dunia kerja yang menekankan pentingnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Untuk itu, organisasi perlu menyesuaikan diri dengan menyediakan lingkungan kerja yang fleksibel, mendukung, dan bermakna. Dengan memahami kebutuhan dan harapan generasi ini, organisasi tidak hanya menjaga loyalitas karyawan, tetapi juga memastikan keberlangsungan dan pertumbuhan dalam jangka panjang.

REFERENSI

Bhende, P., Mekoth, N., Ingalhalli, V., & Reddy, Y. V. (2020). Quality of Work Life and Work–Life Balance. Journal of Human Values, 26(3), 256-265. https://doi.org/10.1177/0971685820939380 (Original work published 2020)

S. TS.N. G (2023), “Work-life balance -a systematic review”. VILAKSHAN – XIMB Journal of Management, Vol. 20 No. 2 pp. 258–276, doi: https://doi.org/10.1108/XJM-10-2020-0186