RESILIENSI: KUNCI MENJAWAB TANTANGAN DAN MENUMBUHKAN KESEHATAN DI ERA MODERN

RESILIENSI: KUNCI MENJAWAB TANTANGAN DAN MENUMBUHKAN KESEHATAN DI ERA MODERN
Penulis: Marcellius Sheehan Issalaya
MENGAPA RESILIENSI SEMAKIN PENTING?

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia mengalami perubahan demografis, sosial, dan kesehatan yang sangat cepat. Populasi lansia meningkat pesat di seluruh dunia, sementara masyarakat dari segala usia dihadapkan pada tekanan hidup yang semakin kompleks, mulai dari krisis ekonomi, pandemi, hingga perubahan sosial dan teknologi yang disruptif. Di tengah tantangan ini, resiliensi atau daya lenting psikologis menjadi perhatian utama, bukan hanya dalam psikologi, tetapi juga dalam kesehatan masyarakat, kebijakan sosial, dan diskursus global.
Resiliensi kini dipahami sebagai kemampuan dinamis untuk beradaptasi, pulih, dan bahkan berkembang setelah menghadapi tekanan atau peristiwa sulit. Bukan sekadar bertahan, resiliensi adalah fondasi untuk mencapai kesehatan mental, fisik, dan sosial yang optimal, terutama di usia lanjut (Zábó et al., 2023; Majnarić et al., 2021).
MEMAHAMI RESILIENSI: DIMENSI PSIKOLOGIS, BIOLOGIS, DAN SOSIAL
Resiliensi tidak lagi dipandang sebagai sifat bawaan, melainkan sebagai proses adaptasi aktif yang melibatkan interaksi antara faktor individu, sosial, dan lingkungan. Pada lansia, resiliensi terbukti memperlambat proses penuaan biologis, menurunkan risiko penyakit kronis, dan meningkatkan kualitas hidup (Zábó et al., 2023; Majnarić et al., 2021).
Komponen utama resiliensi meliputi:
- Regulasi Emosi: Kemampuan mengelola dan menyesuaikan respons emosional secara adaptif. Individu yang mampu mengatur emosi negatif secara sehat cenderung lebih tahan terhadap stres dan depresi.
- Dukungan Sosial: Hubungan yang kuat dengan keluarga, teman, dan komunitas terbukti memperkuat resiliensi dan kesehatan mental, terutama pada lansia.
- Makna dan Tujuan Hidup: Memiliki tujuan dan makna hidup yang jelas, seperti konsep “ikigai” di Jepang, terbukti meningkatkan motivasi, menurunkan stres, dan memperkuat daya tahan psikologis.
- Gaya Hidup Sehat: Aktivitas fisik, nutrisi seimbang, dan tidur cukup berperan penting dalam menjaga keseimbangan psikologis dan biologis.
RESILIENSI DAN KESEHATAN: HUBUNGAN YANG TAK TERPISAHKAN
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa rendahnya resiliensi pada lansia berkaitan erat dengan peningkatan inflamasi, stres oksidatif, dan risiko penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, dan depresi. Sebaliknya, resiliensi yang tinggi yang didukung oleh regulasi emosi, dukungan sosial, dan gaya hidup sehat berkorelasi dengan kesehatan mental dan fisik yang lebih baik, pemulihan yang lebih cepat, serta umur panjang (Majnarić et al., 2021; da Silva-Sauer et al., 2021).

Studi yang dilakukan peneliti juga menegaskan bahwa resiliensi mampu memoderasi dampak stres terhadap depresi dimana individu dengan resiliensi tinggi cenderung tidak mengalami gejala depresi meski menghadapi tekanan berat.
STRATEGI PRAKTIS MENUMBUHKAN RESILIENSI
Berdasarkan tinjauan sistematis dan meta-analisis dari keempat sumber, berikut strategi berbasis bukti untuk menumbuhkan resiliensi dalam kehidupan sehari-hari:
1. Melatih Regulasi Emosi
- Kembangkan keterampilan seperti reappraisal (mengubah cara memandang situasi), acceptance (penerimaan), dan problem-solving.
- Hindari strategi maladaptif seperti suppression (menekan emosi) dan rumination (mengulang-ulang pikiran negatif).
2. Membangun dan Memelihara Dukungan Sosial
- Aktif dalam komunitas, keluarga, atau kelompok relawan terbukti meningkatkan resiliensi dan kesehatan mental. Salah satu contohnya bisa bergabung di komunitas relawan yang dibangun oleh Human Initiative yaitu HIVE (https://hive.human-initiative.org/).
- Manfaatkan teknologi digital untuk memperluas jejaring sosial, terutama pada lansia.
3. Menemukan Makna dan Tujuan Hidup
- Praktik refleksi diri, menulis jurnal, atau mengikuti program “life crafting” dapat membantu individu menemukan dan mengejar tujuan hidup yang bermakna.
4. Mengadopsi Gaya Hidup Sehat
- Aktivitas fisik rutin, pola makan bergizi, tidur cukup, dan mindfulness terbukti memperkuat resiliensi psikologis dan biologis.
- Intervensi berbasis komunitas, seperti “forest bathing” atau terapi alam, juga mulai diakui manfaatnya.
5. Mengakses Sumber Daya Digital dan Teknologi
- Aplikasi kesehatan mental, konseling online, dan pelatihan regulasi emosi berbasis digital dapat menjadi solusi praktis, terutama bagi lansia.
TANTANGAN DAN ARAH MASA DEPAN
Meskipun resiliensi dapat dilatih dan diperkuat, tantangan tetap ada, mulai dari ketimpangan akses sumber daya, stigma terhadap kesehatan mental, hingga kebutuhan akan intervensi yang terpersonalisasi dan berbasis komunitas. Penelitian juga menyoroti pentingnya pendekatan multidimensi dimana resiliensi bukan hanya urusan individu, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya, dan kebijakan publik.
Menghadapi masa depan, resiliensi bukan lagi sekadar kemampuan individu untuk bertahan, melainkan kapasitas kolektif untuk beradaptasi, berinovasi, dan membangun sistem pendukung yang tangguh di tengah ketidakpastian. Diperlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, dan akademisi untuk menciptakan ekosistem yang mendukung kesehatan mental dan fisik secara berkelanjutan. Investasi pada pendidikan, penguatan jejaring sosial, literasi digital, serta kebijakan yang inklusif dan berbasis bukti menjadi kunci untuk memastikan setiap individu dan komunitas mampu menghadapi tantangan zaman dengan ketangguhan dan harapan baru.
KESIMPULAN
Resiliensi adalah kunci untuk menghadapi dan menumbuhkan diri di tengah ketidakpastian dan perubahan zaman. Bukan sekadar bertahan, resiliensi memungkinkan individu terutama lansia untuk tetap sehat, mandiri, dan bermakna, meski dihadapkan pada tantangan hidup yang berat. Dengan mengembangkan regulasi emosi, memperkuat jejaring sosial, menemukan makna hidup, dan menerapkan gaya hidup sehat, setiap orang dapat membangun ketangguhan yang berdampak positif bagi kesehatan mental, fisik, dan sosial.
Di era modern yang penuh tantangan, resiliensi bukan hanya kebutuhan, tetapi juga investasi jangka panjang untuk kualitas hidup yang lebih baik, penuaan yang sukses, dan masyarakat yang lebih inklusif serta berdaya.
REFERENSI
- Zábó, V., Csiszar, A., Ungvari, Z. et al. Psychological resilience and competence: key promoters of successful aging and flourishing in late life. GeroScience 45, 3045–3058 (2023). https://doi.org/10.1007/s11357-023-00856-9
- da Silva-Sauer, L., Lima, T.R.G., da Fonsêca, É.K.G. et al. Correction to: Psychological Resilience Moderates the Effect of Perceived Stress on Late-Life Depression in Community-Dwelling Older Adults. Trends in Psychol. 32, 1484 (2024). https://doi.org/10.1007/s43076-022-00217-z
- Majnarić LT, Bosnić Z, Guljaš S, Vučić D, Kurevija T, Volarić M, Martinović I, Wittlinger T. Low Psychological Resilience in Older Individuals: An Association with Increased Inflammation, Oxidative Stress and the Presence of Chronic Medical Conditions. Int J Mol Sci. 2021 Aug 20;22(16):8970. https://doi.org/10.3390/ijms22168970
- Polizzi, C. P., & Lynn, S. J. (2021). Regulating emotionality to manage adversity: A systematic review of the relation between emotion regulation and psychological resilience. Cognitive Therapy and Research, 45(4), 577–597. https://doi.org/10.1007/s10608-020-10186-1