Education & Information

Quiet Quitting vs Hustle Culture: Dua Kutub Budaya Kerja Modern

WhatsApp Image 2025-11-20 at 11.05.24

Quiet Quitting vs Hustle Culture: Dua Kutub Budaya Kerja Modern

Penulis : Radhiya Diva Dinara

 

Di era kerja modern yang serba cepat, banyak konsep baru bermunculan untuk menggambarkan cara generasi saat ini menyikapi pekerjaan. Dua di antaranya yang paling sering dibahas adalah quiet quitting dan hustle culture. Keduanya muncul sebagai respons terhadap tekanan kerja, perubahan nilai antar generasi, dan cara manusia memaknai kesuksesan. Namun, apakah quiet quitting benar-benar bentuk kemalasan? Dan apakah hustle culture selalu menjadi jalan paling ideal menuju keberhasilan?

Apa Itu Quiet Quitting?

Quiet quitting menjadi salah satu tren budaya kerja yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan pekerja muda. Istilah ini tidak bermakna “mengundurkan diri secara diam-diam”, melainkan menggambarkan perilaku bekerja sebatas kewajiban, tanpa keterlibatan emosional atau usaha ekstra.

Berbagai ahli memberikan perspektif berbeda mengenai quiet quitting:

  • Gallup mendefinisikan quiet quitting sebagai kondisi ketika karyawan hanya melakukan pekerjaan secara minimalis dan tidak terikat secara psikologis dengan pekerjaannya.
  • Serenko (2023) melihatnya sebagai upaya karyawan membatasi kerja demi memprioritaskan kesejahteraan pribadi di atas tujuan organisasi.
  • Galanis et al. (2023) menjelaskan bahwa karyawan tidak benar-benar berhenti, tetapi tidak lagi bersikap proaktif dan hanya memenuhi kewajiban dasar.
  • Wang et al. (2023) mengonsepkan quiet quitting sebagai niat untuk mengurangi keterlibatan kerja, termasuk mengambil cuti, mengurangi beban kerja, hingga berhenti bekerja.

Tren ini sering kali muncul sebagai bentuk proteksi diri terhadap kondisi kerja yang dianggap tidak sehat. Bakotic (2023) menyebut quiet quitting sebagai alternatif bagi karyawan untuk menjaga kesejahteraan mereka. Hal ini diperkuat oleh Mahand dan Caldwell (2023) yang mengungkapkan bahwa kurangnya perhatian perusahaan terhadap kesehatan mental dan emosional karyawan dapat memicu quiet quitting.

Ketika perusahaan mengabaikan kesejahteraan karyawan, muncul berbagai keluhan seperti depresi, kecemasan, kelelahan, hingga perasaan tidak dihargai. Dalam kondisi ini, quiet quitting menjadi cara bagi karyawan untuk memulihkan kesehatan mereka.

Dampak Quiet Quitting bagi Organisasi

Quiet quitting tidak hanya berdampak pada produktivitas, tetapi juga kualitas kerja. Yıldız (2023) menemukan bahwa kualitas kerja yang menurun berpotensi merusak reputasi organisasi, terutama dalam kaitannya dengan kepuasan pelanggan.

Öztürk et al. (2023) juga mengidentifikasi beberapa konsekuensi penting:

  1. Karyawan gagal memberikan kontribusi produktif sehingga perusahaan kehilangan keunggulan kompetitif.
  2. Sikap pasif meningkatkan beban bagi rekan kerja dan menurunkan kinerja tim.
  3. Karyawan enggan berpartisipasi dalam pembelajaran atau pengembangan organisasi karena berusaha mempertahankan kondisi kerja yang stabil.

Apa Itu Hustle Culture?

Berbanding terbalik dengan quiet quitting, hustle culture adalah budaya kerja yang menekankan produktivitas tinggi, jam kerja panjang, dan pengorbanan kehidupan pribadi demi kesuksesan profesional. Budaya ini mempromosikan semangat kerja tanpa henti sebagai jalan menuju pencapaian (Bennett et al., 2021).

Namun, bekerja terlalu keras tanpa dukungan memadai dapat berdampak negatif. Berdasarkan Bakker & Demerouti (2007), tuntutan kerja berlebihan tanpa istirahat atau dukungan sosial memicu stres dan kecemasan.

Riset lain menunjukkan bahwa budaya hustle dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan kronis (Choi, 2020; Mosanya, 2022). Bahkan ketika seseorang menikmati pekerjaannya, kondisi tersebut bisa menjadi bermasalah apabila keterlibatan kerja bersifat obsesif atau didorong tekanan eksternal (Schaufeli et al., 2002; Langelaan et al., 2005).

Quiet Quitting vs Hustle Culture: Mana yang Lebih Baik?

Tidak ada jawaban yang mutlak dalam hal ini. Keduanya bukan sekadar tren media sosial, tetapi cerminan dari bagaimana individu merespons tekanan dan ekspektasi kerja modern.

  • Quiet quitting tidak selalu berarti malas. Sering kali, ini adalah bentuk pertahanan diri ketika lingkungan kerja tidak mendukung.
  • Hustle culture tidak selalu buruk, tetapi dapat menjadi toksik ketika mendorong seseorang bekerja di luar kapasitas tanpa memperhatikan kesehatan mental dan keseimbangan hidup.

Pada akhirnya, yang terpenting adalah mengenali batas diri, membangun pola kerja yang sehat, dan tetap berkembang tanpa mengorbankan kesejahteraan.

Kesimpulan

Kesuksesan bukan hanya soal seberapa keras seseorang bekerja, tetapi seberapa seimbang ia mengelola hidup dan pekerjaannya. Quiet quitting dan hustle culture adalah dua kutub ekstrem dalam dunia kerja modern. Keduanya memberikan pelajaran penting bahwa kesejahteraan, batas diri, dan kesadaran akan kapasitas pribadi adalah kunci untuk bertahan dan berkembang dalam lingkungan kerja yang terus berubah.

REFERENSI

Rahmadara, B., & Rachmawati, R. (2025). Exploratory Study of the Phenomenon Quiet Quitting: Manager’s Perspective in a Digital Company . Jurnal Manajemen Teori Dan Terapan| Journal of Theoretical and Applied Management18(1), 156–167. https://doi.org/10.20473/jmtt.v18i1.68397

Regmi, R., & Manandhar, S. (2025). Hustle Culture and Workplace Anxiety: The Psychological Effect of Overworked Behavior among Working Individuals. DAV Research Journal4(1), 18–33. https://doi.org/10.3126/davrj.v4i1.85655

Patel PC, Guedes MJ, Bachrach DG, Cho Y (2025) A multidimensional quiet quitting scale: Development and test of a measure of quiet quitting. PLoS ONE 20(4): e0317624. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0317624